LinkGrand.com

KONTROVERSI RUU LAMBANG PALANG MERAH


Diarsipkan di bawah: Uncategorized — bulansabitmerahindonesia @ 10:35 am

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum mengetahui bahwa saat ini telah ada sebuah pembahasan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lambang Palang Merah oleh Komisi III DPR RI. Hal ini bisa dimaklumi karena masyarakat lebih tertarik dengan isu-isu sentral yang dapat menyedot perhatian publik seperti RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) yang kemudian telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh Pemerintah. RUU mengenai pembahasan sebuah lambang mungkin menjadi pekerjaan baru bagi anggota dewan.

Munculnya RUU Lambang Palang Merah diajukan pada tahun 2005 melalui Departemen Hukum dan HAM (Depkumham). Uniknya pada tahun 2002 tepat pada saat Bulan Sabit Merah Indonesia dideklarasikan, Departemen Luar Negeri (Deplu) memanggil sejumlah pendiri BSMI untuk mengganti lambang Bulan Sabit Merah menjadi lambang yang yang tidak mengikuti lambang pada konvensi Jenewa yang selama ini dipakai yaitu Bulan Sabit Merah. Sementara itu timbul resistensi juga dari kalangan PMI mereka mengimbau untuk tidak menggunakan lambang Bulan Sabit Merah (Suara Merdeka/10 Juni 2002). Para pengurus BSMI diminta merubah nama dan lambang semula, misalnya dengan menggunakan Bulan Sabit Hijau, Bulan Sabit kuning dan sejenisnya.

Saat itu BSMI didirikan dengan misi dakwah dengan simbol Bulan Sabit Merah dengan asas Islam. Namun dalam kegiatan kemanusiaan, BSMI bersifat universal bagi tiap penerima layanan kemanusiaan tanpa memandang latar belakang suku, agama, kelompok dan negara dalam memberikan kontribusi kepada segenap manusia. Kiprah BSMI yang diketuai oleh dr. Basuki Supartono, SpOT,FICS,MARS telah berlangsung selama 6 tahun dan telah berkembang luas dengan 70 cabang yang tersebar di kotamadya/kabupaten di seluruh indonesia.

Eksistensi BSMI sempat teruji ketika terjadi perang Irak pada tahun 2003 dimana terdapat tawanan Indonesia yang menjadi korban konflik antara Irak dengan Amerika Serikat, BSMI diminta bantuan oleh Departemen Luar Negeri untuk berpartisipasi dalam pembebasan tawanan Indonesia tersebut dan akhirnya BSMI bersama Departemen Luar Negeri bersama-sama bekerja dan menjalin hubungan baik hingga saat ini.

Kejadian tsunami Aceh memberikan pengaruh besar juga terhadap eksistensi BSMI. Tahun 2005 BSMI mendapat tempat khusus oleh Komisi VIII DPR RI karena diminta pendapat dan masukan terhadap RUU Penanggulangan Bencana yang kini sudah diundangkan. Ditahun yang sama pula itulah, melalui Departemen Hukum dan HAM, pemerintah mengajukan RUU Lambang Palang Merah dan dibahas di Komisi III DPR RI. Sementara dari subtansi pengajuan RUU tersebut jelas bahwa kepentingan Palang Merah Indonesia sangat diakomodir oleh pemerintah.

Sementara itu, keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Jenewa dengan menggunakan lambang Palang Merah diratifikasi dengan UU No. 59 Tahun 1958 pada jaman demokrasi terpimpin Sukarno yang sebelumnya dengan Kepres No.25 Tahun 1950 juga keikut sertaan PMI dengan bergabung dengan ICRC (International Committee Red Cross) dan hubungan kemanusiaan ke luar negeri dalam IFRC (Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah) juga patut menjadi catatan atas dibahasnya RUU Lambang Palang Merah.

Alasan lain yang mendasari pengajuan RUU tersebut adalah bahwa peraturan yang sudah ada (ratifikasi) bagi lambang palang merah karena tidak mengatur secara rinci tentang spesifikasi teknis mengenai Lambang Palang Merah dan pemakaian lambang palang merah pada produk merek tertentu.

BSMI sebagai pihak yang berhadapan dengan PMI dan Pemerintah telah dua kali mengikuti sidang dengar pendapat bersama Panitia Khusus RUU Lambang Palang Merah Komisi III DPR RI di tahun 2008 (Mei dan September). Di DPR sendiri beragam pendapat terbagi-bagi, pihak yang mendukung eksistensi BSMI dengan penggunaan lambang Bulan Sabit Merah-nya adalah Fraksi Amanat Nasional, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB). Sementara yang mendukung RUU Lambang Palang Merah adalah Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan (F-PDIP), F-Partai Golkar (F-PG), Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS) dan unsur TNI/POLRI. Suara yang masih belum dipastikan adalah Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) dan Fraksi Partai Bintang Reformasi (F-PBR).

Pasal-pasal yang mengandung kontroversi yang diajukan dalam RUU Lambang Palang Merah adalah pasal 37, 39 dan 40 yang memberi hukuman penjara selama 3 bulan atau denda tiga puluh juta hingga seratus juta rupiah jika mengunakan lambang Bulan Sabit Merah dalam sebuah aktivitas kemanusiaan (kepalangmerahan) di Indonesia. Hal ini jelas akan menghapus eksistensi gerakan Bulan Sabit Merah Indonesia atau gerakan kemanusiaan lain yang menggunakan lambang Bulan Sabit Merah hingga dapat dinilai sebagai bentuk otoriterian dalam kebebasan berekspresi masyarakat dalam kacamata kebhinekaan dan alam demokrasi. apalagi gerakan BSMI dalam kemanusiaan.

Selain itu pada pasal 6 dan 7 disebutkan bahwa rohaniawan dan sarana yang menggunakan lambang Palang Merah disebutkan dilindungi. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas penduduk Indonesia yang muslim dapat menilai terjadi diskriminasi dan rentan adanya penolakan terhadap pemakaian lambang palang merah tersebut. Bagi BSMI sendiri berpegangan kepada pendapat bahwa tidak harus dalam pasal Konvensi Jenewa pun satu negara mesti satu lambang.

Alasan ini juga disandarkan pendapat Prof. Dr. Sri Setianingsih, guru besar hukum UI, setelah menelaah Konvensi Jenewa. Menurut, satu lambang kemanusiaan dipakai dalam kerangka hubungan lembaga kemanusiaan secara internasional (ICRC atau IFRC). Namun dalam urusan internal suatu negara diserahkan kepada mekanisme yang berjalan dalam negeri masing-masing. Hal ini dikhususkan bagi BSMI agar dapat eksis sampai saat ini dan misi kemanusiaan tetap dijalankan dan direalisasikan oleh para relawan BSMI. Pendapat ini diamini oleh sebagian anggota Dewan walaupun terdapat protokol III (tambahan) dalam Konvensi Jenewa yang tiap negara memilih satu lambang kemanusiaannya. Namun pembahasan mengenai satu atau dua lambang dalam satu negara bisa disepakati melalui mekanisme politik berjalan di DPR dalam sebuah pembahasan legislasi.

Suara fraksi-fraksi di DPR terpecah pelah dalam pengajuan judul dari RUU tersebut, antara lain RUU Lambang Palang Merah, RUU Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, RUU Lambang Bulan Sabit Merah, dan RUU Kepalangmerahan. Menjadi unik apa yang dihadapi dan Dalam menghadapi tantangan organisasi BSMI. Dimana di level atas BSMI melakukan penggalangan dukungan kepada ormas-ormas yang selama ini mendukung kegiatan kemanusiaan di Indonesia baik yang sudah kenal dengan BSMI maupun yang belum.

Di tingkat bawah, BSMI terus melakukan sosialisasi melalui aktivitas kemanusiaannya, baik ditingkat pusat maupun cabang-cabang diseluruh nusantara dari Aceh hingga Nabire. Yang menjadi catatan adalah pelayanan BSMI tidak memandang suku, agama dan golongan, seperti gempa di Nabire-Papua, gempa di ALor-NTT, dan pelayanan khitan di Manggarai_NTB dimana BSMI pernah menggelar bhakti sosial pelayanan kesehatan disebuah gereja. Bahkan di level internasional relawan BSMI dikenal pada waktu bencana di Pakistan, Irak dan Libanon. Sekali lagi bahwa Bulan Sabit Merah adalah lambang kemanusiaan yang diterima oleh negara-negara di dunia, bahkan Turki yang sekuler sekalipun menggunakan Bulan SAbit Merah Indonesia, hal ini tidak dapat dilepaskan oleh sejarah bangsa Indonesia yang mengenal lambang Palang Merah dari sejarah kolonialisme, revolusi, orde lama dan orde baru.

sumber :
http://indonesianredcrescent.wordpress.com/2008/11/17/kontroversi-ruu-lambang-palang-merah/

0 comments:

Post a Comment

 

© Copyright Langkah kaki mengikuti hati . All Rights Reserved.

Designed by TemplateWorld and sponsored by SmashingMagazine

Blogger Template created by Deluxe Templates